Perlakuan diskriminatif yang dilakukan pihak sekolah terhadap korban human traficking dan Seks bebas terus menuai kecaman dari anggota dewan. sebab, selain telah mencoreng nama baik kota Surabaya, perlakuan tersebut juga menciderai label kota layak anak yang selama ini telah disematkan di Kota Pahlawan.
beritasurabayanet - DPRD Kota Surabaya : Menurut Masduki Toha, sebagai sebuah lembaga pendidikan, sekolahan harus menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi para siswa dalam proses belajar mengajar. Maka tidak selayaknya apabila ada sekolahan yang justru mendiskriditkan para siswi yang menjadi korban perdagangan manusia.
“ Mereka harusnya lebih disayangi, jangan malah dikucilkan ,”tuturnya.
Menurut Masduki, demikian politisi dari PKB itu kerap disapa, dirinya berharap agar pihak sekolah lebih menyayangi bukan malah membebani para korban human trafficking tersebut. Oleh karena itu, dirinya meminta dinas spendidikan dan beberapa jajaran terkait supaya bekerja sama dalam memberikan perlindungan.
“ Jika anak biasa dikirimi doa sekali, maka anak yang menjadi korban human trafficking itu harus di doakan sepuluh kali lebih banyak, begitulah cara kita harusnya memperlakukan mereka, jangan sampai pihak sekolah justru mengucilkanya ,”ujarnya kemarin saat hearing di Komisi D.
Senada dengan Masduki Toha, Ketua Komisi D Baktiono juga berharap agar pihak sekolah bisa berperan aktif dalam mananganinya. Untuk itu ia meminta agar peran serta guru BP di tiap sekolah dioptomalkan secara maksimal.
“ Guru BP harus bekerja lebih keras lagi, gimana caranya agar siswa siswa tersebut merasa tidak dihakimi oleh lingkungan di sekolahnya ,”harapnya.
Sementara terkait adanya perdebatan di kalangan sekolah, apakah para siswa tersebut masuk kategori korban atau pelaku? Secara tegas, Baktiono menyatakan jika siswa tersebut masih masuk kategori anak dan itu artinya mereka menjadi korban.
“ Perda dan undang undangnya sudah jelas, jadi mereka ini korban bukan pelaku ,”jelas politisi dari PDIP itu.
Shinta, salah satu keluarga korban human trafficking mengakui jika selama ini pihak sekolah kerap berlaku tidal adil terhadap para siswa yang menjadi korban pedagangan manusia dan seks bebas. Contoh konkritnya seperti yang menimpa keponakanya yang kini masih kelas 3 SMA di salah satu sekolah negeri di Surabaya.
Menurut Shinta, akibat kejadian tersebut, keponakanya terpaksa tidak bisa mengikuti ujian akhie Sekolah (UAS) akibat di skor selama satu bulan. Bahkan ketika boleh masuk sekolah pun, keponakanya tersebut hanya dikasih nilai kosong oleh pihak sekolah.
“ Bohong besar jika tidak ada perlakuan diskriminatif dari sekolahan, keponakan saya contohnya ,”uajarnya saat ditemui wartawan kemarin.
Plt Satpol PP Deni, jika berualangnya kejadian perdagangan manusia di kalangan pelajar akibat tidak adanya koordinasi yang baik antara pihak aparat dengan sekolah. Oleh karena itu dirinya berharap agar pihak sekolah lebih terbuka dan mau bekerjasama dengan beberapa lembaga serta instansi di Suarabaya.
“ Saya pernah mendatangi satu sekolahan dalam kasus yang sama, tapi tanggapan dari mereka justru sangat tidak baik, dan tidak ada kerjasamanya sama sekali ,”ujar Deni.
Di bagian lain, Walikota Surabaya Tri Rismaharini membantah keras jika ada perlakukan diskriminitif yang dilakukan pihak sekolah terhadap korban perdagangan manusia. Menurutnya, yang terjadi selama ini, kebanyakan korban yang merasa tertekan hingga tidak mau berangkat ke sekolahan.
“ Saya pernah merayu korban seperti itu, itu biasa jika mereka merasa tertekan dan malu, untuk itu pemkot sangat apresiatif terhadap sekolah yang mau menerima dan memperlakukan para korban human tarafficking dengan baik , ”ujarnya saat ditemui usai rapat paripurna. (qcox)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar