STOP PRESS !! Diberi tahukan kepada semua narasumber bahwa semua wartawan/wartawati beritasurabayanet.blogspot.com dilengkapi dengan Kartu Press dan namanya tercantum pada halaman Redaksi, bila ada keraguan silahkan menghubungi Redaksi pada nomor telephone 031 714 54954 / 08155084545 atau melalui emai redaksi_berita_sby@yahoo.co.id, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Sabtu, 03 Desember 2011

Rp7.050 Vs Rp40 Miliar


Oleh Edy Mulyadi *

Maret 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) memutuskan, batas orang miskin di Indonesia adalah mereka yang mengkonsumsi kalori 2.100 kilo kalori per hari atau sekitar Rp 5.000 alias Rp155.615 per kepala per bulan.

Ditambah kebutuhan nonmakanan, jumlah kebutuhan per hari orang miskin di Indonesia menjadi Rp7.050/hari alias Rp211.726 per bulan.

Dengan standar ini, jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 13,3% atau 31 juta orang.

Di sinilah serunya statistik kita. Pada kehidupan nyata, bukan di atas kertas, apa yang bisa dilakukan dengan Rp7.050? Bisakah orang memenuhi seluruh kebutuhan makanan dan nomakanan dengan Rp7.050 per hari dengan layak?

Bank Dunia memiliki standar miskin US$2/hari. Dengan kurs sekitar Rp9.000/US$, maka standar kemiskinan versi Bank Dunia adalah Rp18.000/hari.

Jika standar ini yang kita gunakan, maka jumlah orang miskin di Indonesia angkanya bisa membengkak lebih dari 60 juta jiwa. Upah seorang buruh pabrik saat ini lebih dari Rp1,1 juta/bulan, atau rata-rata Rp36.000/hari. Tidak satu pun dari kita yang berani menyatakan, bahwa dengan pendapatan Rp36.000/hari, seorang buruh pabrik masuk dalam kategori orang kaya.

Artinya, buruh pabrik adalah orang miskin juga. Bila patokan ini yang kita gunakan sebagai standar kemiskinan, maka jumlah orang miskin di Indonesia membengkak menjadi lebih dari 180 juta jiwa. Sungguh jumlah yang sangat luar biasa setelah lebih dari 66 tahun negeri ini merdeka!

Pada 22, 24, dan 26 November silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mantu. Anak bungsunya, Edhie Baskoro Yudhoyono atau yang akrab disapa Ibas, menikahi Siti Ruby Aliya Rajasa, putri Menko Perekonomian Hatta Rajasa.

Lembaga Swadaya Masyarat (LSM) Bendera memperkirakan biaya pernikahan itu mencapai Rp12 miliar. Bahkan, tabloid C&R menyebut biaya pernikahan itu mencapai Rp40 miliar. Sungguh sebuah pesta yang super-supermewah.

Publik pun tersentak. Semahal itukah biaya perkawinan putra presiden?

Tak ayal lagi, Istana pun sibuk menepis tudingan itu. Tak kurang dari juru bicara presiden Julian Adrian Pasha dan Mensesneg Sudi Silalahi angkat bicara. 

“ Tidak sesen pun uang negara dipakai untuk membiayai pernikahan itu ,” kilah Sudi membela bosnya.

Benarkah SBY tidak menggunakan sepeser pun uang negara untuk pernikahan Ibas  seperti yang diklaim Sudi? Tentu saja tidak. Menggunakan Istana Cipanas sebagai tempat akad nikah tentu perlu biaya. Ada biaya listrik untuk penerangan, AC, dan lainnya. Biaya dekorasi, tenda, karpet, dan lainnya. Siapa yang membayar itu semua?

Tentu dibayar dengan uang negara. Iring-iringan rombongan pengantin, baik dari pihak SBY maupun Hatta Rajasa, menggunakan mobil dinas milik negara yang BBMnya, sopir, patroli pengawal, dan lainnya semuanya dibayar negara.

Pengaspalan jalan menuju Istana Cipanas, tentu dibiayai negara. Melibatkan aparat pengamanan mulai dari Polsek dan Koramil Cipanas, Polres Bogor, Kodam Jaya, Kodam Jabar, Polda Jaya, dan Polda Jawa Barat semuanya pasti dibiayai negara.

Dengan rangkaian fakta seperti ini, bagaimana mungkin Sudi bisa dengan begitu jumawa menyatakan pernikahan anak presiden tidak sesen pun menggunakan uang negara?

Jadi, dari mana SBY membiayai pernikahan anaknya yang konon menghabiskan dana Rp14 miliar seperti yang diungkap LSM Bendera atau Rp40 miliar versi tabloid C&R?

Perlu diingat, dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) per 25 Mei 2009, kekayaan SBY hanya mencapai Rp7,14 miliar ditambah U$44.887. Jadi, memang penuh pertanyaan dari mana dana prosesi pernikahan ini.

Menurut UU yang ada, pemberian atau sumbangan lebih dari Rp10 juta harus dikembalikan. Pasalnya, jika sumbernya itu uang halal, maka sumbangan itu patut diduga sebagai gratifikasi. Namun bila bersumber dari uang haram, hasil korupsi, misalnya, maka sumbangan itu termasuk praktik pencucian uang. Nah, SBY termasuk yang mana, menerima gratifikasi atau terlibat pencucian uang haram?

Masih soal biaya pernikahan, suka tidak suka ini terkait soal asas penghematan dan pola hidup sederhana yang senantiasa SBY lontarkan.

Lagi-lagi, jika benar dana prosesi ini mencapai puluhan miliar, jelas ajakan untuk hemat dan sederhana itu hanya untuk rakyat Indonesia, tidak untuk elit, dan tidak juga untuk SBY sendiri.

Dengan uang Rp40 miliar, bisa menghidupi 5.573.759 jiwa orang miskin pada hari yang sama.

Sementara itu, nun di Iran sana, Presiden Mahmoud Ahamdinejad juga baru saja menikahkan anaknya. Dia menggelar acara pernikahan anaknya dengan sangat sederhana yang hanya dihadiri warga kampung. Tidak ada rangkaian prosesi super mewah. Para tamu hanya duduk lesehan melingkar di ruang tamu rumahnya yang berukuran 120 m2. Tidak ada makanan yang berlimpah-ruah. Mereka hanya disuguhi air, kue-kue, dan buah.  Titik !

Presiden Iran ini memang terkenal di seluruh dunia karena kehidupan sederhananya. Dia menolak gaji Presiden, menolak fasilitas negara, menolak mobil dinas mewah, menolak rumah dinas, dan hanya bersedia menerima gaji guru besar Universitas Teheran sebesar US$250/bln. Dia hanya tinggal di rumah kecil seluas 120 m2 peninggalan orang tua. Selama sekian tahun memerintah, Ahamdinejad fokus pada perang terhadap korupsi.

Bermewah-mewah saat sebagian besar hidup rakyat menderita? Hmm....

“ Berikanlah hartamu kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan dalam perjalanan. Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan. Dan setan sangat ingkar kepada Tuhannya .” (QS. Al Israa: 26-27)

“ Tidaklah beriman kepadaKu orang yang tidur dengan kenyang, sementara tetangganya lapar, padahal dia mengetahui hal itu .” (HR al Bazzaar)

“ Aku adalah orang pertama yang kelaparan saat negeri dilanda paceklik. Dan aku adalah orang terakhir yang kenyang saat negeri mendapat berkah kemakmuran .” (Khalifah Umar bin Khatab).
___________________________
* Direktur Program Centre For Economic 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar