beritasurabayanet - Polrestabes : Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jatim membebaskan Anton Raditya Pratama (27), tersangka pemilik 200 ekstasi, dengan alasan kekurangan saksi. Ternyata, alasan hakim tersebut dikarenakan saksi yang juga terdakwa, Ferry Prawiro Husein, telah mencabut keterangannya melalui akta yang dibuatnya di seorang notaris.
Dengan akta tersebut, Anton bisa melengang bebas keluar dari rutan Medaeng dan hanya diharuskan masuk panti rehabilitasi narkoba. Keputusan PT Jatim tersebut sekaligus membatalkan vonis Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang memvonis Anton dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 2 bulan penjara. Keharusan Anton masuk panti rehabilitasi juga menjadi tanda tanya karena pasal yang dikenakan kepada Anton adalah pasal 112 jo 114 jo 132 UU RI No.35 tahun 2009 tentang kepemilikan, pengedar dan persekongkolan, bukan dengan pasal pemakaian narkoba.
"Kami jelas kecewa. Kasihan anggota yang sudah bersusah payah di lapangan," kata Kapolrestabes Surabaya, Kombespol Coki Manurung, dalam diskusi mengenai bebasnya Anton di ruang eksekutif mapolrestabes, Selasa (29/3/2011).
Akta tersebut dibuat Ferry pada 30 Desember 2010. Feri sendiri dijebloskan ke Lapas Madiun pada 17 Desember 2010. Akta dibuat oleh Ariyani, seorang notaris yang berkantor di Jalan Ngagel Timur 11. Akta itu berisi pernyataan Ferry yang mengatakan bahwa dirinya selama ini tidak pernah memesan maupun membeli narkotika (ekstacy) sebanyak 100 butir warna merah maupun 400 butir warna kuning dari Hendrianes Prasmadya. Namun Ferry pernah berhubungan melalui telepon dan HP. Hendrianes sendiri adalah tersangka lain yang ditangkap berdasarkan pengembangan kasus dari Anton.
Mengenai adanya akta tersebut, kepada hadirin yang hadir Coki meminta pendapat. Dalam diskusi itu, selain polisi hadir juga beberapa pihak seperti anggota Ikatan Notaris Indonesia (INI) Jatim, Granat dan Badan Narkoba Propinsi (BNP). Menurut Nur Wahyuni, anggota Majelis Dewan Pengawas Daerah INI Jatim, secara hukum akta tersebut sah-sah saja. Tetapi secara etika, pembuatan akta tersebut perlu dipertanyakan karena berhubungan dengan kasus narkoba yang bersama dengan korupsi menjadi kasus prioritas.
"Secara etika seorang notaris tidak akan membuat akta semacam itu karena narkoba seperti kita tahu adalah barang haram," kata Wahyuni.
Wahyuni mengatakan bahwa berdasarkan UU jabatan, dalam pembuatan sebuah akta, seorang notaris hanya bertanggung jawab terhadap waktu pembuatan akta. Sedangkan isi dari akta merupakan tanggung jawab dari yang membuat pernyataan. Mengomentari pertanyaan Coki yang mempertanyakan dimana akta itu dibuat, Wahyuni mengatakan bahwa akta tersebut bisa dibuat baik di dalam lapas maupun di kantor notaris. Jika dibuat di kantor notaris, maka isi akta harus menyebutkan jika ada izin yang sudah diurus untuk datang ke kantor notaris. Tetapi isi dari akta tidak menyebutkan seperti itu.
Akta juga bisa dibuat di lapas. Lazimnya, akta yang dibuat di lapas biasanya menggunakan saksi dari kepala lapas dan pengacara. Tetapi keterangan di akta menyebutkan bahwa dua orang yang menjadi saksi merupakan pegawai dari kantor notaris, yang biasanya menjadi saksi jika akta dibuat di kantor notaris.
"Tidak ada ketentuan hukum soal saksi, tetapi lazimnya seperti itu," tambah Wahyuni.
Dengan adanya akta itu, Wahyuni akan membawanya ke Majelis Pengawas Notaris untuk didiskusikan. Dan polisi sendiri berjanji akan membentuk sebuah tim untuk mempelajari dan mengusut adanya akta tersebut, termasuk kejanggalan-kejanggalan yang mungkin ditemukan di dalamnya. Karena dengan akta itu, seorang tersangka kasus narkoba yang dengan susah payah diburu akhirnya bisa bebas dengan mudahnya.
"Kalau ini dibiarkan saja, ini bisa menjadi modus aksi kejahatan lain. Hanya dengan akta, seorang terdakwa bisa dengan mudahnya bebas dari jerat hukum," ujar Coki.
Sementara itu, Ariyani saat dikonformasi membenarkan adanya akta tersebut. Ariyani mengaku membuat akta itu di Lapas Madiun, tempat Ferry ditahan. Mengenai saksi dari 2 pegawainya, Ariyani mengatakan bahwa tidak ada aturan seperti itu. Lagipula, pengacara Hendrianes juga menyaksikan pembuatan akta itu. Mengenai kata 'menghadap' yang bisa diartikan bahwa ferry mendatangi kantor notaris, Ariyani mengatakan bahwa kata menghadap sudah benar karena Ferry memang menghadap ke dia meskipun itu di lapas. Jika menghadap di kantor notaris, maka kata yang digunakan adalah 'datang menghadap.
"Saya tidak kenal Anton. Yang saya tahu adalah Hendrianes," ujar Ariyani.
Hendrianes, kata Ariyani, merupakan kakak teman Ariyani. Teman Ariyani tersebut mengatakan bahwa Hendrianes telah ditipu. "Hanya Ferry yang buat akta, Hendrianes tidak," tambah Ariyani.
Seperti diketahui, kasus kepemilikan 200 ektasi milik Anton berawal dari penangkapan terhadap Feri dengan barang bukti 64 ekstasi. Dari Feri mengambang kepada Anton yang setelah dikembangkan dapat menangkap Hendrianes dan Yoppi Darmawan. Hendrianes lah yang memasok ekstasi kepada Anton dan Yoppi masing-masing 200 butir ekstasi. Hendra Wijaya dan Husni Mubaraq menjadi dua tersangka lagi dari hasil pengembangan Hendrianes dan Yoppi. Pengembangan selanjutnya, M. Nuh, seorang anggota TNI AL dan Bernard Sapulette, seorang pecatan polisi dapat diamankan. Pengembangan selanjutnya diserahkan ke Polres Jakarta Pusat karena 3 tersangka terakhir diamankan di Jakarta. (Red./detiksurabaya)
Dengan akta tersebut, Anton bisa melengang bebas keluar dari rutan Medaeng dan hanya diharuskan masuk panti rehabilitasi narkoba. Keputusan PT Jatim tersebut sekaligus membatalkan vonis Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang memvonis Anton dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 2 bulan penjara. Keharusan Anton masuk panti rehabilitasi juga menjadi tanda tanya karena pasal yang dikenakan kepada Anton adalah pasal 112 jo 114 jo 132 UU RI No.35 tahun 2009 tentang kepemilikan, pengedar dan persekongkolan, bukan dengan pasal pemakaian narkoba.
"Kami jelas kecewa. Kasihan anggota yang sudah bersusah payah di lapangan," kata Kapolrestabes Surabaya, Kombespol Coki Manurung, dalam diskusi mengenai bebasnya Anton di ruang eksekutif mapolrestabes, Selasa (29/3/2011).
Akta tersebut dibuat Ferry pada 30 Desember 2010. Feri sendiri dijebloskan ke Lapas Madiun pada 17 Desember 2010. Akta dibuat oleh Ariyani, seorang notaris yang berkantor di Jalan Ngagel Timur 11. Akta itu berisi pernyataan Ferry yang mengatakan bahwa dirinya selama ini tidak pernah memesan maupun membeli narkotika (ekstacy) sebanyak 100 butir warna merah maupun 400 butir warna kuning dari Hendrianes Prasmadya. Namun Ferry pernah berhubungan melalui telepon dan HP. Hendrianes sendiri adalah tersangka lain yang ditangkap berdasarkan pengembangan kasus dari Anton.
Mengenai adanya akta tersebut, kepada hadirin yang hadir Coki meminta pendapat. Dalam diskusi itu, selain polisi hadir juga beberapa pihak seperti anggota Ikatan Notaris Indonesia (INI) Jatim, Granat dan Badan Narkoba Propinsi (BNP). Menurut Nur Wahyuni, anggota Majelis Dewan Pengawas Daerah INI Jatim, secara hukum akta tersebut sah-sah saja. Tetapi secara etika, pembuatan akta tersebut perlu dipertanyakan karena berhubungan dengan kasus narkoba yang bersama dengan korupsi menjadi kasus prioritas.
"Secara etika seorang notaris tidak akan membuat akta semacam itu karena narkoba seperti kita tahu adalah barang haram," kata Wahyuni.
Wahyuni mengatakan bahwa berdasarkan UU jabatan, dalam pembuatan sebuah akta, seorang notaris hanya bertanggung jawab terhadap waktu pembuatan akta. Sedangkan isi dari akta merupakan tanggung jawab dari yang membuat pernyataan. Mengomentari pertanyaan Coki yang mempertanyakan dimana akta itu dibuat, Wahyuni mengatakan bahwa akta tersebut bisa dibuat baik di dalam lapas maupun di kantor notaris. Jika dibuat di kantor notaris, maka isi akta harus menyebutkan jika ada izin yang sudah diurus untuk datang ke kantor notaris. Tetapi isi dari akta tidak menyebutkan seperti itu.
Akta juga bisa dibuat di lapas. Lazimnya, akta yang dibuat di lapas biasanya menggunakan saksi dari kepala lapas dan pengacara. Tetapi keterangan di akta menyebutkan bahwa dua orang yang menjadi saksi merupakan pegawai dari kantor notaris, yang biasanya menjadi saksi jika akta dibuat di kantor notaris.
"Tidak ada ketentuan hukum soal saksi, tetapi lazimnya seperti itu," tambah Wahyuni.
Dengan adanya akta itu, Wahyuni akan membawanya ke Majelis Pengawas Notaris untuk didiskusikan. Dan polisi sendiri berjanji akan membentuk sebuah tim untuk mempelajari dan mengusut adanya akta tersebut, termasuk kejanggalan-kejanggalan yang mungkin ditemukan di dalamnya. Karena dengan akta itu, seorang tersangka kasus narkoba yang dengan susah payah diburu akhirnya bisa bebas dengan mudahnya.
"Kalau ini dibiarkan saja, ini bisa menjadi modus aksi kejahatan lain. Hanya dengan akta, seorang terdakwa bisa dengan mudahnya bebas dari jerat hukum," ujar Coki.
Sementara itu, Ariyani saat dikonformasi membenarkan adanya akta tersebut. Ariyani mengaku membuat akta itu di Lapas Madiun, tempat Ferry ditahan. Mengenai saksi dari 2 pegawainya, Ariyani mengatakan bahwa tidak ada aturan seperti itu. Lagipula, pengacara Hendrianes juga menyaksikan pembuatan akta itu. Mengenai kata 'menghadap' yang bisa diartikan bahwa ferry mendatangi kantor notaris, Ariyani mengatakan bahwa kata menghadap sudah benar karena Ferry memang menghadap ke dia meskipun itu di lapas. Jika menghadap di kantor notaris, maka kata yang digunakan adalah 'datang menghadap.
"Saya tidak kenal Anton. Yang saya tahu adalah Hendrianes," ujar Ariyani.
Hendrianes, kata Ariyani, merupakan kakak teman Ariyani. Teman Ariyani tersebut mengatakan bahwa Hendrianes telah ditipu. "Hanya Ferry yang buat akta, Hendrianes tidak," tambah Ariyani.
Seperti diketahui, kasus kepemilikan 200 ektasi milik Anton berawal dari penangkapan terhadap Feri dengan barang bukti 64 ekstasi. Dari Feri mengambang kepada Anton yang setelah dikembangkan dapat menangkap Hendrianes dan Yoppi Darmawan. Hendrianes lah yang memasok ekstasi kepada Anton dan Yoppi masing-masing 200 butir ekstasi. Hendra Wijaya dan Husni Mubaraq menjadi dua tersangka lagi dari hasil pengembangan Hendrianes dan Yoppi. Pengembangan selanjutnya, M. Nuh, seorang anggota TNI AL dan Bernard Sapulette, seorang pecatan polisi dapat diamankan. Pengembangan selanjutnya diserahkan ke Polres Jakarta Pusat karena 3 tersangka terakhir diamankan di Jakarta. (Red./detiksurabaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar